Minggu, 02 Mei 2010

PENDIDIKAN (YANG ) BINGUNG

Oleh: Yudi Wahyudin
Ketua Pemuda Persis Garut / Mahasiswa STKIP Persis Garut Jurusan Sejarah)


Di saat para guru sibuk dengan segala perangkat administrasi pengajaran, mempersiapkan silabus dan RPP, sibuk seminar dan pelatihan, mempersiapkan data-data untuk keperluan NUPTK dan sertifikasi, namun pada saat yang sama, anak menunjukkan perilaku-perilaku yang mengkhawatirkan. Kita merasa tercengang dengan berbagai macam perilaku anak didik Indonesia. Sebut saja kasus gang motor-yang kebanyakan anak pelajar SMP dan SMU, pelecehan seksual, erotisme, tawuran antar pelajar, life style yang hedon, datang lewat sms dan facebook serta seabreg perilaku lain yang sangat mengkhawatirkan. Lalu ada apa dengan pendidikan kita?

Saat ini, kebijakan prioritas pendidikan adalah persoalan standarisasi. Mulai dari standarisasi evaluasi (baca:UN), standarisasi kemampuan tenaga pendidik, standarisasi sarana prasarana, hingga standarisasi tingkat kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan, seperti yang tercantum dalam UU No.14 Th. 2005 atau UU No.19 Th. 2005 mengenai profesionalisme pendidikan berikut elemen-elemennya. Sejauh merupakan alat yang diperlukan bukan tujuannya itu sendiri, sah-sah saja jika perangkat-perangkat ini dipersiapkan.

Namun problem kemudian timbul dari kesalahan interpretasi kurikulum pendidikan di lapangan terhadap tujuan pendidikan nasional yang hampir 80% memberikan penekanan kuat pada aspek afektif siswa: solidaritas, moralitas, keteladanan, akhlaq al-Karimah, kemandirian dan psikomotorik.

Sedangkan yang 20% hanya dialokasikan untuk mematangkan aspek kognitif siswa. Sehingga selain perangkat tadi berubah menjadi tujuan, pendidikan kita malah lebih menargetkan capaian-capaian perilaku dan aqidah. Faktornya sederhana, dunia modern menuntut kita untuk mampu mengukur (measuring) terhadap objek-objek yang dapat terukur (measurable), sedangkan akhlaq dan akidah masuk pada kategori objek yang unmeasurable (tidak dapat terukur).

Benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Perencanaan itu penting, namun yang lebih penting adalah gurunya itu sendiri”. Guru saat ini lebih berkonsentrasi pada profesionalisme pengajaran dengan profesionalisme pembayaran. Profesionalisme yang ditandai dengan teknistik-kontraktual ini akan berbahaya jika para pemegang kebijakan yang merupakan elit dalam sistem, hanya berorientasi pada kekuasaan. Dulu menjadi guru adalah berbicara mengenai kewajiban mendidik, saat ini menjadi guru merupakan profesi dengan kontrak dan bayaran di atas materai.

Dulu, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, saat ini guru adalah professional dengan sejumlah sertifikat. Tentu saja efek psikologi ini-atau Islam menyebutnya niat, berpengaruh besar terhadap proses pendidikan, pendidikan berakhir di kelas dan selebihnya di waktu-waktu ujian. Karena pendidikan sebenarnya adalah di alam realitas,dengan tantangan yang tidak ada jawabannya di bangku sekolah. Akhirnya di sini gunung di sana gunung, siswa bingung, guru pun lebih bingung, namun yang penting dapat bayaran!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan kritik, saran, opini atau apapun sepuasnya!