Minggu, 02 Mei 2010

Foto-foto Aktifitas Mahasiswa









Permata Yang Dicari

Hadirnya tanpa kusedari
Menggamit kasih cinta bersemi
Hadir cinta insan padaku ini
Anugerah kurniaan Ilahi

Lembut tutur bicaranya
Menarik hatiku untuk mendekatinya
Kesopanannya memikat di hati
Mendamaikan jiwaku yang resah ini

Ya Allah
Jika dia benar untukku
Dekatkanlah hatinya dengan hatiku
Jika dia bukan milikku
Damaikanlah hatiku
Dengan ketentuan-Mu

Dialah permata yang dicari
Selama ini baru kutemui
Tapi ku tak pasti rencana Ilahi
Apakah dia kan kumiliki
Tidak sekali dinodai nafsu
Akan kubatasi dengan syariat-Mu
Jika dirinya bukan untukku
Redha hatiku dengan ketentuan-Mu

Ya Allah
Engkaulah tempat kubergantung harapanku
Kuharap diriku sentiasa di bawah rahmat-Mu

PENDAFTARAN MAHASISWA BARU TAHUN AKADEMIK 2010/2011:

STAI PERSIS

Program Study :
Pendidikan Agama Islam (S1)
Tafsir Hadits (S1)

STKIP PERSIS

Program Study :
Bahasa Inggris (S1)
Sejarah (S1)


Persyaratan :

  1. Mengisi formulir pendaftaran
  2. Menyerahkan foto copy ijazah Muallimin/SMA, Aliyah atau yang sederajat.
  3. Menyerahkan pas foto 3x4 = 4 lembar
  4. Mengikuti tes masuk ujian Mahasiswa
  5. Membayar uang pendaftaran

Waktu Pendaftaran :

Gelombang I : 1 April-1 Juni 2010
TSMB : 5 Juni 2010
Pengumuman : 10 Juni 2010
Gelombang II : 1 Juli-15 Agustus 2010
TSMB : 20 Agustus 2010
Pengumuman : 1 September 2010

Biaya Perkuliahan :
  1. Biaya Pendaftaran Rp. 100.000,-
  2. Nafaqoh (untuk dana pengembangan, fisik, perpustakaan, kebersihan, dll) Rp. 300.000 dibayar sekali selama kuliah
  3. Uang Kemahasiswaan Rp. 100.000,- dibayarkan per-semester
  4. SPP Rp. 1.200.000,- per-semester. Bagi mahasiswa yang dapat rekomendasi dan beasiswa dari PD Persis Garut SPP Rp. 600.000,-
  5. Baju Al-mamater, Buku Panduan, dsb Rp. 150.000,-

Contact Person:

08156955764 (Tiar Anwar Bachtiar)
0817611521 (Heri M. Tohari)
081313977617 (Hendra)
085222425729 (Alfn-Mahasiswa PAI)
087827061761 (Yusuf-Mahasiswa TH)

Gugum Gunawan


Lahir di kota kembang, Bandung 17 Oktober 1985. Alumni Pesantren Persis 1 Bandung angkatan 2003. Setelah tamat dari almamaternya, pisah dari keluarga dan tinggal di Masjid Al-Madaniyyah sebagai pengurus Madrasah Diniyyah. Pernah ikut nyantri di Pesantren Tahdzibul Wasiyyah Bandung pimpinan KH. Usman Sholehudin tahun 2004. Sempat masuk sebagai thalib Ma`had Al-Imarat Bandung tahun 2006.

Karena kecintaannya terhadap anak-anak madrasah. Kesehariannya di habiskan untuk mengajar di Diniyyah dari pagi sampai malam. Itu juga yang menyebabkan harus cuti dari dunia pendidikan (mahasiswa) karena tidak tega meninggalkan anak-anak. Sekarang pun aktif mengajar anak-anak madrasah di Masjid Baiturrahman Garut. Akhirnya di tahun 2008 ada tawaran untuk kuliah di STAI Persis Garut dan alhamdulillah sekarang sudah memasuki semester 4.

Aktivitas sehari-harinya selain mengajar di Madrasah. Aktif juga di Organisasi Pemuda Persis di tiga cabang yang berbeda. PC. Pemuda Persis Babakan Ciparay, PC. Pemuda Persis Andir dan PC. Pemuda Persis Astana Anyar tempat kelahirannya. Sempat ditarik di PD. Pemuda Persis Bandung sebagai bidang Humas masa jihad 2005-2009 dan sekarang aktif di PC. Pemuda Persis Tarogong Kidul sebagi bidang Kaderisasi dan PD. Pemuda Persis Kabupaten Garut dengan jabatan yang sama, masa jihad 2009-2012. Tahun 2009 terpilih sebagai Ketua BEM pertama di STAI & STKIP Persis Garut.

Bagi anda yang ingin berinteraksi bisa menghubungi 081320441673. Atau email: neshone8588@yahoo.com | FB: al_kayyis@plasa.com.

JIHAD BUKAN TEROR!

Oleh: Gugum Gunawan
(Presma BEM STAI & STKIP Persis Garut/Mahasiswa jurusan Tafsir Hadits)


Pasca tragedi 11 september 2001 silam, hubungan Islam dan dunia barat semakin memburuk. Banyak anggapan bahwa islamlah yang melakukan segala bentuk teror yang terjadi. Terlebih banyaknya anggapan bahwa islam melegalkan tindakan terorisme. Segala macam tudingan dan stigma Islam agama teror memperburuk citra Islam di dunia internasional.

Tidak heran jika banyak pertanyaan yang menyudutkan Islam, dan ini tentu merupakan tanggung jawab kita semua untuk menepis anggapan tersebut. Sebab, semua tudingan yang dilontarkan tidak berdasarkan fakta dan data yang jelas.

Terorisme selalu dikaitkan dengan ajaran jihad dalam Islam. Padahal keduanya sangat jauh berbeda. Jihad disyariatkan sebagai bentuk pembelaan terhadap tanah air, Negara dan agama dari ancaman musuh. Sehingga dalam prakteknya tidak diperbolehkan membunuh wanita, anak kecil, orang tua dan warga sipil. Juga tidak boleh membakar rumah ibadah dan merusak lingkungan. Sedangkan teror dilakukan untuk memuaskan keinginan hawa nafsu pelakunya, tanpa memperdulikan objek sasarannya.

Sebut saja Israel. Negara yang setiap harinya membunuh dan membantai warga Palsetina. Tanpa pandang bulu, wanita, bocah cilik, warga sipil sampai rumah ibadah mereka hancurkan. Kenapa dunia barat bungkam? Padahal apa yang mereka lakukan merupakan pelanggaran yang tidak bisa ditolelir.

Sementara islam adalah agama “Rahmatan lil alamin” dengan sangat jelas Islam mengharamkan jiwa manusia, dan mensyaratkan hukum qishas bagi yang membunuhnya. Firman Allah, ” Barang siapa yang membunuh satu jiwa atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” {Al-Maaidah : 32}
Membunuh satu orang saja dianggap membunuh seluruh manusia. Bagaimana dengan hukum membunuh ribuan warga sipil yang tidak berdosa?

Kita sangat prihatin dengan berbagai tragedi pembunuhan yang terjadi setiap hari, kita selalu menyaksikan hal itu di tanah suci Palestina, yang dilakukan oleh kelompok zionis. Kita semua yakin hal itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang muslim. Sebab, kita tahu bahwa membunuh jiwa dengan cara tidak benar termasuk salah satu dosa besar dalam islam. Al-Quran menyatakan “Dan perangilah oleh kalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, dan janganlah kalian melebihi batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melebihi batas.” {Al-Baqarah : 190}

Kekuatan Islam bukanlah penguasaan dan kebencian atau teroris. Tidak ada penguasaan, teror dan pemaksaan karena Islam memberikan rasa aman dan keselamatan secara umum, yang dilandasi pada keadilan

Landasan pergaulan antar orang Islam adalah kedamaian, rasa aman dan kebebasan. Asal dari hubungan umat Islam dengan umat Islam atau antara umat Islam dengan non muslim adalah perdamaian bukan peperangan.

Adapun orang yang mengklaim sebaliknya, hal ini hanya penglihatan yang dangkal, penglihatan yang terpengaruh dengan realita hubungan yang panas masa lampau antara umat Islam dengan musuh-musuhnya.

Disyariatkannya jihad dalam Islam adalah ketetapan terhadap keadaan memusuhi umat Islam dan dakwah kaum muslimin, serta untuk menyelamatkan orang-orang lemah yang membutuhkan pertolongan orang-orang muslim.

Jihad wajib untuk mempertahankan. Mempertahankan di sini dalam arti luas bukan sempit. Maka orang Islam tidak menyerang dengan tiba-tiba kepada mereka dengan adanya intimidasi secara terus menerus atau membahayakan.

Wallahu a`lam bis Shawab

Tiar Anwar Bachtiar


Lahir di Banjarsari, Ciamis 20 Juni 1979. Sampai selesai SD tahun 1991, tinggal bersama orangtua di Ciamis. Selepas itu, menyelesaikan masa nyantri di Persantren Persatuan Islam 19 Bentar Garut. Tahun 1997 diterima di Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran hingga selesai tahun 2002. Melanjutkan program pascasarjana di Universitas Indonesia dan saat ini sedang melanjutkan S3 di Universitas yang sama.

Suami dari Reni Kurniasih ini semasa mahasiswa, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Mahasiswa Pyramid (1999-2000), Direktur Konsorium Jatinangor Peduli (2000-2002), dan Ketua Umum HMI Cabang Jatinangor (2002-2003). Kini Selain mengajar di pesantren almamaternya dan mengelola STAI Persis Garut, tercatat juga sebagai Ketua I PP. Pemuda Persatuan Islam sejak Muktamar di Jakarta tahun 2005 dan Penasihat Forum Lingkar Pena Cabang Garut.

Berbagai tulisannya tersebar di berbagai media massa nasional maupun lokal seperti Kompas, Republika, Hikmah, Risalah, Al-Muslimun, Pikiran Rakyat dan yang lainnya. Di samping itu, ayah satu putri ini juga menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab. Di antara buku yang sudah diterjemahkannya antara lain: Qaradhawi Bicara Soal Wanita (2003), Menaklukkan 7 Penyakit Jiwa (2004), Tafsir Surat Al-Fatihah (2003), Jalan Kebahagiaan (2006), dll. Selain menulis juga menyunting banyak buku. Buku yang pernah ditulis adalah Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis (2005), Hamas Kenapa Dibenci Amerika?, yang kemudian direvisi menjadi Hamas Kenapa Dibenci Israel? (2009) dll. Saat ini menjabat sebagai Puket I STAI Persis Garut.

Bagi anda yang ingin berbagi pengalaman atau sharing bisa menghubungi 081546955764. Atau melalui email : tiaranwar@in.com

PENDIDIKAN (YANG ) BINGUNG

Oleh: Yudi Wahyudin
Ketua Pemuda Persis Garut / Mahasiswa STKIP Persis Garut Jurusan Sejarah)


Di saat para guru sibuk dengan segala perangkat administrasi pengajaran, mempersiapkan silabus dan RPP, sibuk seminar dan pelatihan, mempersiapkan data-data untuk keperluan NUPTK dan sertifikasi, namun pada saat yang sama, anak menunjukkan perilaku-perilaku yang mengkhawatirkan. Kita merasa tercengang dengan berbagai macam perilaku anak didik Indonesia. Sebut saja kasus gang motor-yang kebanyakan anak pelajar SMP dan SMU, pelecehan seksual, erotisme, tawuran antar pelajar, life style yang hedon, datang lewat sms dan facebook serta seabreg perilaku lain yang sangat mengkhawatirkan. Lalu ada apa dengan pendidikan kita?

Saat ini, kebijakan prioritas pendidikan adalah persoalan standarisasi. Mulai dari standarisasi evaluasi (baca:UN), standarisasi kemampuan tenaga pendidik, standarisasi sarana prasarana, hingga standarisasi tingkat kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan, seperti yang tercantum dalam UU No.14 Th. 2005 atau UU No.19 Th. 2005 mengenai profesionalisme pendidikan berikut elemen-elemennya. Sejauh merupakan alat yang diperlukan bukan tujuannya itu sendiri, sah-sah saja jika perangkat-perangkat ini dipersiapkan.

Namun problem kemudian timbul dari kesalahan interpretasi kurikulum pendidikan di lapangan terhadap tujuan pendidikan nasional yang hampir 80% memberikan penekanan kuat pada aspek afektif siswa: solidaritas, moralitas, keteladanan, akhlaq al-Karimah, kemandirian dan psikomotorik.

Sedangkan yang 20% hanya dialokasikan untuk mematangkan aspek kognitif siswa. Sehingga selain perangkat tadi berubah menjadi tujuan, pendidikan kita malah lebih menargetkan capaian-capaian perilaku dan aqidah. Faktornya sederhana, dunia modern menuntut kita untuk mampu mengukur (measuring) terhadap objek-objek yang dapat terukur (measurable), sedangkan akhlaq dan akidah masuk pada kategori objek yang unmeasurable (tidak dapat terukur).

Benar sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Perencanaan itu penting, namun yang lebih penting adalah gurunya itu sendiri”. Guru saat ini lebih berkonsentrasi pada profesionalisme pengajaran dengan profesionalisme pembayaran. Profesionalisme yang ditandai dengan teknistik-kontraktual ini akan berbahaya jika para pemegang kebijakan yang merupakan elit dalam sistem, hanya berorientasi pada kekuasaan. Dulu menjadi guru adalah berbicara mengenai kewajiban mendidik, saat ini menjadi guru merupakan profesi dengan kontrak dan bayaran di atas materai.

Dulu, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, saat ini guru adalah professional dengan sejumlah sertifikat. Tentu saja efek psikologi ini-atau Islam menyebutnya niat, berpengaruh besar terhadap proses pendidikan, pendidikan berakhir di kelas dan selebihnya di waktu-waktu ujian. Karena pendidikan sebenarnya adalah di alam realitas,dengan tantangan yang tidak ada jawabannya di bangku sekolah. Akhirnya di sini gunung di sana gunung, siswa bingung, guru pun lebih bingung, namun yang penting dapat bayaran!

UN 2010: Siswa SD pun Terkena Bencana Pendidikan Nasional

Oleh:

Muhammad Ryan Alviana

(Mahasiswa STAI Persis Garut Jurusan PAI)


Pendidikan Indonesia secara aktual dapat dikatakan berada pada masa krisis. Krisis ini timbul dari permasalahan besar yang dianggap kecil oleh pemerintah. Diantaranya permasalahan UN. Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dengan tegas menyebutkan bahwa UN sebagai alat ukur kemajuan pendidikan nasional yang tidak perlu dipermasalahkan. Namun jika kita meninjau lebih lanjut tentang tujuan pendidikan, maka kita akan menemukan UN sebagai sebuah masalah yang komplek. Yaitu masalah penghianatan terhadap hakikat tujuan pendidikan.


Hakikat tujuan pendidikan yang disepakati bangsa Indonesia ialah menciptakan manusia beriman dan bertaqwa. Dengan kata lain tujuan akhir pendidikan Indonesia ialah perubahan kepribadian yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotor yang menyeluruh. UN secara jelas hanya mengevaluasi sisi kognitif saja. Mengabaikan sisi afektif dan psikomotor. Hal ini menegaskan bahwa UN sama sekali tidak mengantarkan pada tujuan pendidikan yang hakiki. Dengan UN sebagai alat ukur kelulusan, maka pemerintah telah mencedrai amanah pendidikan nasional. Memaksakan UN berarti pemerintah telah menghianati otonomi pendidikan yang diembankan kepada sekolah dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


Mesti diingat bahwa UN juga telah menapikan peran pendidik yang mempunyai fungsi sebagai pembina moral dan akhlak siswa. Dengan UN yang nilai standar kelulusannya tinggi, membuat guru dan anak didik menjadi risih. Sang guru takut anak didiknya tidak lulus sehingga berusaha berbuat kecurangan. Siswa ataupun orang tua siswa juga mengalami ketakutan yang sama. Imbasnya mereka saling tolong menolong dalam berbuat kecurangan. Dari mulai membocorkan soal hingga membagi-bagian kunci jawaban yang didapat dari oknum-oknum tertentu yang juga mendapatkanya entah dari mana. Ini adalah fenomena buruk yang terjadi di dunia pendidikan kita yang berakibat fatal bagi moral anak bangsa.


UN telah menurunkan motivasi belajar siswa. Para siswa sudah yakin mereka akan diberi tahu jawaban oleh gurunya hingga tak perlu lagi menghafal. Daripada sibuk menghafal mereka lebih sibuk mencari, atau bahkan membeli kunci jawaban dan bocoran soal. UN telah mendidik anak untuk bersikap malas, berfikir instan dan beranggapan bahwa semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Dengan demikian pendidikan nasional tidak lagi efektif, efisien dan produktif.


Pemerintah menjadikan UN sebagai standarisasi pendidikan nasional dan pendidikan sebagai tolak ukur kemajuan suatu daerah. Maka bisa dipastikan jika daerah yang kelulusan UN-nya tinggi bisa disebut sebagai daerah yang maju. Tapi kenyataanya daerah yang tingkat kelulusan UN-nya tinggi, indeks pembangunanya tetap rendah. Tengok saja kabupaten Garut yang menempati ranking pertama kelulusan UN, namun indeks pembangunan masyarakatnya terendah di Jawa Barat.


Pada tanggal 4 Mei yang akan datang, siswa SD juga akan melaksanakan UN. Sudah dapat dipastikan kecurangan akan timbul. Anak SD yang berada pada usia labil akan merasa kebingungan dengan sikap gurunya. Disisi lain gurunya mengajarkan kebaikan dan kejujuran, di sisi yang lain gurunya bersikap tidak jujur dengan memberikan kunci jawaban UN. Maka generasi-generasi pewaris negri ini akan bersikap bingung antara jujur dan tidak jujur. UN adalah bencana pendidikan nasional. Akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak rasional.


Jika masih berniat melaksanakan UN, hendaknya pemerintah menjadikanya hanya sebagai standarisasi pendidikan nasional, bukan standar kelulusan siswa. Karena standar kelulusan siswa hanya bisa ditentukan oleh sekolah bersangkutan. Sekolahlah yang lebih tahu tentang perkembangan afektif, kognitif dan psikomotor siswa. Sekolah juga lah yang berhak menentukan nilai standar kelulusan yang disesuaikan dengan hasil evaluasi belajar serta fasilitas penunjang proses pembelajaran yang ada di sekolah bersangkutan, inilah yang disebut keadilan. Jika ditegakkan keadilan ini, maka bencana pendidikan nasional yang ditimbulkan UN akan tereliminir.